12 Desember 2014
Erwin, I Love
U......
Rasanya akulah orang yang paling bahagia malam itu. Dia mengajakku keluar bersama. Bayang-bayang untuk hidup bersamanyapun seketika muncul manari-nari diatas kepalaku. Bibirku tak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagia. Bagaikan magma yang telah panas lalu menyembur keluar bumi. Rasanya ingin sekali aku teriak agar semua orang tau, jika Erwin dan aku akan jalan berdua. Kali ini dewi fortuna benar-benar berpihak padaku. Dan kuharap saat kita duduk berdua akan ada cupid yang datang membawa panah cinta untuk ditancapkan kehatiku dan hatinya, agar kita tetap saling bersama dan menjadi benar-benar bersatu. Sore itu segera ku bergegas pulang untuk menepati janji yang telah kami sepakati. Dan ku tak sia-siakan kesempatan, aku ingin terlihat maksimal didepanya, ku ingin semua terlihat sempurna dari ujung kerudung hingga ujung kaki. Tak henti-hentinya ku tersenyum dan sesekali tertawa sambil berhias didepan cermin. Semoga malam ini mengesankan. “sudah siap?” pesanya kepadaku. dengan sigap jariku segera menari diatas huruf-huruf “udah.” Dan kita bertemu didepan rumahku. Pandangan pertama saat aku melihatnya adalah aku tercengang dan sedikit malu. Dia terlihat sangat sederhana, dengan kaos hitam yang dilapisi jaket, dan celana training hitam sangat pas dikenakanya. Sepertinya aku lupa dia memang orang yang sangat sederhana. Tak pernah neko-neko apalagi memperlihatkan semua kelebihanya. Tetapi tak bisa ku pungkiri hatiku menjerit “ hellooo.... aku udah dandan abis-abisan kalii,,, tapi kamu cuma gitu??! Kamu menghina aku?! Sungguh menyebalkan. Tak adakah sedikit rasa grogi karena akan bertemu denganku? Oh, aku lupa, mungkin kamu tak mencintaiku, makanya kamu tak ingin terlihat mengagumkan dimataku. jika alasanya seperti itu, aku tak bisa berkata-kata lagi, baiklah kita jalan sekarang.” Batinku mulai sibuk menerka-nerka keadaan yang sebenarnya. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, jika ada lomba diam, mungkin kami sudah menjadi juaranya. Sesekali aku bertanya sesuatu yang gak terlalu penting dan terkesan garing. Begitupun dengan dia. Suasanaya sangat canggung, dan terkesan beku, jujur, aku sangat sangat sangat grogi didekatnya, apalagi jika harus duduk berhadapan, oh tuhan, rasanya aku mau pingsan. Dinginya angin malampun tak membuat suasana menjadi cair. Malam itu kami makan berdua ditemani semilirnya angin dan riuhnya kendaraan yang berlalu lalang didepan kami. Dari makan malam kita, ada komponen yang paling ku benci yaitu bawang mentah, aku mulai menyingkirkanya dari piringku, satu persatu ku lempar ke lantai beralas debu, rupanya dia memperhatikanku, “ kenapa? Gak suka bawang?” ucapnya dengan tatapan yang mematikan untuk siapa saja yang meamandangnya. “ gak suka” ku tersenyum memandangnya. “ taro dipiringku aja” ujarnya sambil sibuk mengunyah makanan yang baru saja datang. Perlahan-lahan ku pindahkan bawangku ke atas nasinya, sambil sesekali ku pandangi dia, “ akankah kita makan seperti ini lagi jika kita sudah resmi menjadi pasangan? Bukankah suami isrti akan saling melengkapi dan saling bertukar makanan seperti malam ini? Tapi, apakah kamu benar-benar erwin? Seseorang yang sering lalu lalang dihati dan pikiranku? Benarkah erwin yang ku suka sedang berada didepan mataku? Ataukah aku hanya mimpi?” batinku mulai perang dengan segudang pertanyaan yang hilir mudik melintasi otakku. Akupun coba mencubit tanganku sendiri yang sedang berada dibawah meja, “ aw.. rasanya sakit” ini benar-benar nyata. Ya allah ini bukan mimpi? Terima kasih ya allah, aku benar-benar bersyukur kepadamu atas segala kebahagiaan yang kau berikan, khususnya malam ini. Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung didunia, bahkan jika dibandingkan dengan kate midleton. “ ayo dimakan!” suara halusnya membuyarkan semua lamunanku. Akupun tersenyum dan segera menyantap hidangan malam itu dengan es jeruk sebagai penutupnya, tiba-tiba terdengar suara kamera mengambil gambar, akupun reflek mencari arah suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari sebuah ponsel hitam yang sedang diarahkanya kepadaku, akupun terkejut dan segera meletakkan gelas yang berisi es jeruk manis, “heh,, itu buat apa?” seruku memandangnya dengan penuh tanda tanya. Tetapi tak ada jawaban pasti, dia hanya tersenyum dan mengajakku pulang. Dia selalu membuatku bertanya-tanya. Kenapa dia selalu membuat soal yang tak pernah aku tahu jawabanya. Sungguh membuatku penasaran sehingga terkadang pikiran buruk melintas dikepalaku.
Itulah pertemuan pertama kami yang sangat berkesan dan terlalu pahit untuk diingat tetapi terlalu manis untuk dilupakan. Akhirnya aku tahu dia tak mencintaiku, dia sudah mempunyai seseorang yang selalu ada untuknya. Perlahan-lahan aku mulai belajar untuk melupakanya. Walaupun aku tahu, semakin aku berusaha menghapus segala kenangan tentangnya, semakin sering bayanganya hadir menghantui setiap kesendirianku. Erwin, sihir apa yang kau pakai sehingga hati ini sulit untuk tidak mengingatmu, karena kamu begitu sempurna dimataku. Peristiwanya sudah berlangsung dua tahun yang lalu, tetapi jejakmu masih setia menemaniku, gerak-geriknyapun masih terpantau oleh mata hatiku. Bukankah sebelum janur kuning melengkung setiap orang mempunyai kesempatan yang sama?!
Selama ini aku tak pernah mengijinkan teman laki-laki untuk datang kerumah, alasanya hanya satu, aku masih menunggumu Erwin, karena aku ingin hanya kamu laki-laki pertama yang datang sebagai tamuku, dan akhirnya kamu juga yang akan menjadi pelabuhan terakhir dalam pelayaranku, karena selama ini aku hanya mencarimu dalam setiap keramaian, aku hanya mengingatmu dalam setiap kesendirianku, aku hanya menyebut namamu dalam setiap waktuku, aku hanya menulis namamu disetiap lembar kertasku, dan aku hanya memimpikanmu dalam setiap tidurku. Dan aku akan menantimu sekuat hatiku, semoga penantianku tidak berakhir tragis. Karena aku telah benar-benar jatuh kedalam lubang cinta yang semakin lama semakin tinggi membukit bahkan telah menggunung. Dalamnya laut bisa diukur dengan seismograf, tetapi dalamnya cintaku tidak bisa diukur dengan apapun. Erwin Ariyanto, aku mencintaimu.......
By : Ananda Rini Astuti